You are currently viewing Kado Ulang Tahun

Kado Ulang Tahun

Kemarin Cerin ulang tahun. Ga terasa dia sudah 9 tahun.

Ceritanya, karena hari istimewa, mamanya mau traktir kado apapun yang Cerin mau.

“Cerin boleh beli apapun, biasanya kalau beli ga nyampe 100 kan? ayuk nanti pilih barang boleh lebih dari 100 ribu”, kata Mama.

Cerinnya ceria. Saya yang was was. Semakin tambah usia, anak ini semakin muncul sifat ajib ajibnya. Mamanya kadang ga sadar, pilihan opsi yang ditawarkan bisa jadi bumerang. Meniru siapa, ya entahlah. Bukankah buah memang tak akan jatuh jauh dari pohonnya.

“Oiya Yah… barusan aku transfer ke ayah, untuk ayah kalau ada perlu. Nanti kalau misal mau beli-beli apa ya beli deh, mama traktir!”

“Wow.. makasih Mama!”

Asiknya punya istri yang bisa ngurus duit ya begini. Karena saya tipikal pemalas dan gampang bocor anggaran, keuangan negara sengaja saya berikan ke istri saya sepenuhnya. Biar dia yang mengelola, yang penting kebutuhan semua tercukupi, anggaran bisa seimbang, tidak sampai jomplang.

“Ayuk Maa, Yah… berangkat!”. Cerin sudah siap dengan baju pink cinnamorollnya.

Tujuannya ke mana? Ke mall dong! Mall memang dirancang sebagai pusat belanja, tapi bagi kami sekaligus tempat wisata. Bisa ngadem sambil mengamati lalu lalang orang dengan berbagai dandanan, semua itu serasa cuci mata. Sukur bisa sambil belanja atau sekedar beli camilan.

Ya seperti siang ini, seperti kata Cerin tadi, mumpung liburan, mumpung hari terang, mari berburu makanan dan mainan.

“Mbak Cerin mau beli apa?”, tanya mamanya.

“Mainan ya Ma…”, katanya sambil menuju Salah satu gerai mainan.

“Ga mau baju aja Ce?”

“Enggak Yah, mainan aja, kalau baju besok Ayah yang beliin lagi?”

“Lha.. kok beli lagi? lha ini kan mau dibeliin mama Ce…”k

“Ah ayah ga seru, ini kan untuk kado ulang tahunku, besok Ayah beliin aku baju pas Hari Raya saja”

Bisa aja neh anak. Bener-bener turunannya akuntan.

“Ga mau Lego Mbak?”, tanya mamanya

“Enggak, cape aku main lego ma…”

“Ini bagus Ce!”. Sebuah mobil mainan saya tunjukkan ke dia.

“Itu kan mainannya cowok, Ayah”

“Atau ini?”, Sebentuk robot kecil. Unik.bentuknya. Di kemasan tertulis Robot AI Line Detector.

“Apa itu Yah?”

Aha.. kayaknya dia mulai tertarik. Sengaja saya kasih mainan yang mungkin bisa mengembangkan logika dan cara berfikirnya. Dan yang pasti jangan terlalu mahal. Di pikiran saya, untuk apa mainan mahal-mahal, semahal apapun mainan ya tetap mainan, targetnya sama-sama untuk hiburan saja.

“Ini robot bisa jalan sendiri. Bisa ngikutin garis pola yang kamu gambar, Ce, lihat deh keren kan?”

Unik juga robot yang kadang dilombakan di sekolah bahkan tingkat universitas, sekarang sudah dikemas jadi mainan anak dengan harga terjangkau.

Cerin itu tipe anak yang suka penjelasan detil, jadi kadangkala saya yang harus berfikir menerjemahkan sesuatu ke bahasa anak-anak.

“… Jadi nanti Cerin gambar garis jalur untuk robot, taruh robot ini di atasnya, dia akan jalan mengikuti garis yang Cerin gambar tadi…”

“Emmm.. enggak ah Yah.. ga ada manfaatnya!”

Whaatt ! Jiaan.. bener2 cara jawabnya anak STM.

“Hahaha.. yawis lah mbak, kamu pilih sendiri, atau ayuk ke sana” Kata mamanya.

Cerin dan mamanya itu asik kalau diajak belanja. Beneran asik, apalagi kalau ketemu barang-barang kaporitnya. Sampe kadang lupa barang bawaan sendiri. Dan mungkin itulah fungsinya saya.

“Nah.. ini baru bagus-bagus Ma”, sesaat kemudian Cerin sudah asik di kerumunan Barbie.

Saya sih maklum ya, namanya juga cewek, di usia segitu pasti dapat cemistrinya ya sama boneka plus asesoris asesorisnya. Tambah usia lagi mungkin dapat cemistri di urusan asesoris diri, cooking atau food shows di Netflix, filem india, drama korea, puncaknya sinetron dan telenovela.

Beda dengan cowok, di usia setua saya masih iya aja diajak nonton filem Sinchan, One Piece atau Detektive Conan. Jangan digeneralin pak, saya ga suka filem, saya sukanya mancing, hiking, traveling, touring, dribbling, coding ! Oiya ya.. skip aja deh.

“Nah ini yang aku cari, Ini aja ya Ma!” Sepertinya anak itu sudah menemukan barang yang dicarinya.

“Aku dari dulu pengen kaya gini”

Sebuah rumah-rumahan ditunjuknya. Kemasan hard plactic dipegangnya kuat-kuat. Nampak label harga penuh barcode bertuliskan deretan angka.

“Waduuh, jangan ini dong mbak, coba baca itu berapa harganya?”

“Iya, aku tau ma… ini 1 juta 200 ribu ya.. aku mau ini”

“Mahal banget, jangan itu mbak”

“Kata mama boleh belanja di atas 100 ribu, gimana sih? 1 juta kan di atas 100 ribu ma!”

Wkwkwk.. benar kan rasa was was saya, dan mamanya bingung menjelaskan.

“Ah mama… Ya udah yang ini aja Ma… cuma 800, itu juga di atas 100 kan?”

Hahaha.. Sayanya mah ketawa aja, karena dari awal sudah merasa akan ada sesuatu momen yang istimewa.

“Mbak, Mama ga bawa uang segitu… kalaupun ada uang segitu mending kita beli lemari atau kursi beneran aja, bukan mainan gini… Gini aja deh… Cerin boleh beli 200 ribu aja, itu sudah di atas 100 kan.. boleh pilih apa aja!”

“Hadeh Mama, kenapa ga bilang dari tadi… lagian kalau cuma 200 ya dapat apa.. katanya boleh beli mainan besar, masak beli mainan kecil, mainan bayi lagi,… Mama ga seru ah!”

Lha…Memang seseru itu pemirsah perdebatan antara mantan akuntan dan calon pemilik toko..

“Sudahlah, Ayah saja yang ngerayu Cerin!”, Akhirnya ibu kost nyerah juga.

“Ayo Ce.. ke sana saja, di sini 200 memang gak dapat apa-apa, tapi mungkin di sana, malah bisa beli banyak.. katanya mau cari yang ada manfaatnya. Cerin bisa beli tas lucu, topi, bando, krayon gambar, atau mungkin alat-alat sulap”

“Beneran Yah?”

“He-eh”

Cerin itu asik. Asal penjelasannya masuk akal dia pasti menerima. Tidak perlu mendebat. Endingnya ya ceria lagi. Guru STM memang selalu punya solusi. Akhirnya ya memang kita harus lihat situasi masuk di gerai apa. Mall itu menjual prestis. Barang dan lokasi. Kenyamanan belanja jadi menambah nilai jual. Ibarat bakso di pinggir jalan cuma 8 ribu perak, di sini bisa 80 ribu.

Akhir cerita, dia beli seperangkat alat sulap sesuai budjet mamanya. Lagi-lagi, Mama beli asesoris, tak lupa beli pernik-pernik ala Mama untuk rumah. Senang rasanya melihat mereka menemukan hal-hal yang mereka suka.

“Jadi semua segini ya kakak”, kata mbak kasir, sambil mempersiapkan bungkus karton. Paper bag kata orang-orang. Unik juga bungkus belanjaan jaman sekarang, katanya meminimalkan penggunaan plastik. Dengan karton juga bisa didaur ulang, bahkan warna dan desain bisa berubah setiap saat, jadi kesannya tidak monoton. Bener-bener bentuk pemasaran yang efektif.

“Yah.. aku ga bawa dompet. Pake QRIS Ayah aja ya?”, kata Mama sesaat kemudian.

“Eh, bagaimana Ma?”

Belum selesai pertanyaanku, mbak-mbak kasir sudah menyodorkan sebuah mesin.

“Silakan bisa scan di sini kakak”, katanya sambil senyum, lalu mengangguk.

Saya tengok ke kiri, ada pandangan mamanya Cerin sambil senyum, dan mengangguk. Aku tengok ke kanan ada mas-mas yang sedang mengantri, dan juga mengangguk. Saya ga tengok-tengok lagi. Scan QRI$ beres. Paper bag kuning bergambar “Stitch” berpindah tangan ke mamanya Cerin dan proses belanja selesai. Tapi kok jadinya Ayah yang bayar ya?

“Terimakasih Ayah, ayuk pulang!”

“Ayo!”

Mama dan Cerin Ceria.

“Eh tunggu, kayaknya ayah belum belanja deh!”

“Besok aja ya Yah, sudah mau malam ini, kasian Cerin capek”

“Iya yah, nanti keburu hujan, yuuk pulang!”

Sepertinya ada yang salah… tapi apa ya? Sudahlah yang penting mereka ceria.

Cuss !

This Post Has One Comment

  1. uut

    Seru banget ceritanya.
    Tetap cantik, smart, dan ceria yaa Cerin😍

Leave a Reply